Sejarah Gampong

          Pada awalnya Gampong Lampuja merupakan kesatuan wilayah di bawah pimpinan “Ulee Balang” Tungkop dengan satu tempat ibadah (muenasah), pada masa Hindia Belanda sebagian masyarakat meminta untuk membangun “Balee” (Meunasah panggung sederhana) mengingat jauhnya jarak tempat ibadah (meunasah) dalam wilayah Tungkop hingga pada akhirnya terbentuk suatu kelompok permukiman baru hingga berkembang pesat dengan pertumbuhan penduduknya. Pada akhirnya permukiman tersebut berdiri sendiri menjadi sebuah gampong dengan memilih pemimpin gampong (Keuchik) pertama. Wilayah permukiman baru tersebut diberi nama Gampong Lampuja yang diangkat dari letak wilayah geografisnya yang diapit oleh lahan persawahan yang luas pada sisi utara (Gampong Lamtimpeung) dan sisi selatan (Persawahan Kec. Kuta Baro). Makna kata “Lampuja” terdiri dari 2 (dua) suku kata dalam bahasa Aceh, Lam = Didalam, dan Puja = Memuja, namun dalam penulisannya dua suku kata tersebut ditulis tidak terpisah. Sehingga jika diartikan “Lampuja berarti suatu daerah permukiman/Gampong dengan batas wilayah pada sisi depan dan belakangnya adalah hamparan sawah yang luasPada awalnya Gampong Lampuja merupakan kesatuan wilayah di bawah pimpinan “Ulee Balang” Lamtimpeung dengan satu tempat ibadah (Muenasah), pada masa Hindia Belanda sebagian masyarakat meminta untuk membangun “Balee” (meunasah panggung sederhana) mengingat jauhnya jarak tempat ibadah (Meunasah) dalam wilayah Tungkop hingga pada akhirnya terbentuk suatu kelompok permukiman baru hingga berkembang pesat dengan pertumbuhan penduduknya. Pada akhirnya permukiman tersebut berdiri sendiri menjadi sebuah gampong dengan memilih pemimpin gampong (Keuchik) pertama. Wilayah permukiman baru tersebut diberi nama Gampong Lampuja yang diangkat dari letak wilayah geografisnya yang diapit oleh lahan persawahan yang luas pada sisi utara (Gampong Lamtimpeung) dan sisi selatan (Persawahan Kec. Kuta Baro).